Jumat, 19 Juni 2015

7 hal mengenai teraweh yang perlu diantisipasi oleh jamaah musiman

Sholat teraweh memang ibadah yang sangat seremonial. Trademark Bulan Ramadhan yang sangat ditunggu tunggu. Tapi ada beberapa hal sepele yang perlu diantisipasi oleh jamaah musiman, apa saja itu? Berikut 7 hal yang perlu dihindari versi whiteheaded-spot

1. 23 rakaat
11 atau 23 Mas? Pertanyaan yang common bagi jamaah mesjid musiman. Kalau jawabannya 11, pasti penanya akan tersenyum sumringah. Tapi kalau jawabannya 23, opsinya sih biasanya antara nafas dalam dan terdengar berat, atau malah putar balik meninggalkan masjid. Lol
Sebenarnya selain 11 dan 23, ada lagi yang saya sebut sebagai tim 8. Soalnya kelakuannya kabur setelah rakaat kedelapan. Ini mungkin jamaan musiman paling musiman, alias serba nanggung saat beribadah.

2. Imam berumur.
Kalau yang ini implikasinya agak banyak dan cukup kompleks. Dari gerakan yang kurang gesit atau baca suratnya pelan (dari segi speed atau volume). Overall, teraweh jadi lama dan gak beres beres. Kan jamaahnya masih pada laper karena baru minum es sama jajan gorengan. Hahaha

3. Ada tausyiah
Ini juga agak gengges. Padahal mulia lho, tapi pasti dihindari sama jamaah mesjid yang sifatnya musiman. Seperti tadi ketika sebelum teraweh diumumkan akan ada tausyiah sebelum witir, jamaah akhwat (yang kebanyakan ibu ibu) mengeluh dan serempak berkata 'yaaahhhh...'. Tapi ibu ibu itu hanya berani sepik. Ketika rakaat ke delapan usai, gak satupun yang berani angkat kaki untuk menonton 7 manusia harimau season ramadhan. 

4. Jamaah berumur
Yang ini gak kalah tricky. Soalnya susah menebak secara akurat berapa jumlah jamaah senior di dalam masjid. Meskipun secara agregat mereka kalah jumlah, tapi jika mereka punya kedekatan personal dengan imam, bisa jadi imam akan ikut menurunkan speed membacanya lafal sholat.

5. Ruangan terlalu nyaman -karpet tebal nan empuk, ruangan dengan pencahayaan temaram, dan suhu bersahabat dengan tengkuk-
Ruangan nyaman memang ideal, tapi untuk teraweh, menurut penulis sifatnya eksepsional. Jamaah musiman pada umumnya melakukan ibadah ala kadarnya. Implikasinya, begitu adzan maghrib makannya sudah ngalah ngalahin Ed Stafford ketika selesai shooting acara 'Marooned'. Maka tak heran kalau sampai ketika teraweh mendapatkan ruangan super comfy, pada rakaat ketiga sudah mulai sempoyongan, atau malah sudah ambruk?

6. Sendal buluk
Mimpi buruk setiap ke masjid. Sendal jepit baru dan mengkilap akan tertukar dengan sepasang sendal buluk. Yang antara alasnya sudah dekil, mengelupas, japitannya sudah nyaris terbelah, atau malah sudah pernah putus, kemudian dipasangi dengan peniti atau paku. Misteri bagaimana mereka bisa tertukar, agaknya itu adalah misteri besar alam semesta. Misteri yang sama besarnya dengan siapa pembunuh JF Kennedy.

7. Malam Pertama.
Ini yang sering bikin galau galau gak jelas. Malam pertama teraweh bisa dijamin kalau mesjid akan penuh, atau malah akan luber luber. Tidak berangkat teraweh, gak mainstream, atau malah gak bisa dikatain anak kekinian. Tapi kalau berangkat, kemungkinan sudah di barisan paling belakang, dekat tempat wudhu. Solusinya bisa dengan berangkat lebih awal, tapi ya apa bakal ikhlas? Phineas and Ferb masih belum abis, begitu juga Masterchef US season 6 (walaupun re run). 

Kamis, 18 Juni 2015

Sepit dan Kerupuk Ikan


We do love travel, fcuk yeah!!! terlepas dari idioms yang berkata 'The world is a book and those whatsoever,' travelling memang sudah menjadi lifestyle. Kalau buat kebanyakan orang travelling itu sebagai lifestyle yang bersifat entertainment, buat gue travelling itu bagian dari perjalanan dinas yang menjemukan *eh.




Minggu lalu gue ke Sumatera Selatan. Bukan kali pertama ke daerah itu, tetapi biasanya memang kita naiknya lewat jalur darat. Kali ini lewat sungai, merasakan satu satunya metode transportasi yang belum pernah gue coba, kapal kecil. *sebetulnya sudah pernah sih, ketika naik kapal nyeberang ke pulau pari, tapi rasanya beda, karena ini hanya speed boat kayu yang isinya tak sampai 30 orang*. Hal yang paling saya suka, adalah banyaknya kelapa di perkampungan yang masih bagus, di daerah saya, kelapa sudah habis terkena serangan Orcytes ToT






Jam setengah lima pagi kami sudah siap, menunggu sepit -dan juga mobil yang akan mengantar-. Perjalanan dari lokasi ke Palembang makan waktu 3-4 jam, tergantung amal dan perbuatan. Lamanya waktu perjalanan dan minimnya pertimbangan kenyamanan, membuat saya terpaksa memungut beberapa buah batu untuk disimpan teman saya, karena dia sedang sakit perut. Lama pasti perjalanan tergantung seberapa sering sepit transit, karena kita memang naik sepit umum, ya harus agak bersabar.





















Dari sungai yang hanya selebar 20 meter, ukurannya berubah tergantung lokasi. bisa ke lebar, atau sangat lebar. Tiadanya alat penyelamatan hanya membuat kita berharap bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi, karena biasanya jika ada kapal karam, yasudah ikhlaskan saja, SAR saja tidak ada. hehehe

Sampai palembang agak siang, kami masih sempat mencari langsung ke sentra produksi kerupuk ikan yang beken di sana -selain pempek-. Pencarian kerupuk ikan dengan pertimbangan bahwa sudah akan masuk musim puasa -walaupun tidak ada hubungannya juga sih). Saat memilah milah kerupuk, harganya sangat berbeda dengan di toko souvenir besar, misalnya C*NDY. Satu kantong plastik besar di produsen yang saya beli dengan harga 12 ribu, teryata untuk item yang hampir serupa (tentu dengan merk yang berbeda), harganya 23 ribu di toko oleh oleh. wew.

Hal yang agak khas di daerah produsen kerupuk ini, adalah hampir semua pembuat kerupuk merupakan etnis tionghoa. Jadi ya jangan kaget kalau banyak aroma Tionghoa disini. Dari peletakan cermin di atas pintu rumah, tempat dupa yang tergantung di teras, atau kertas/kain bermotif stempel yang biasa dilihat di film Mandarin. Rumah persembahyangan juga mudah dijumpai di beberapa gang/jalan.

Membeli kerupuk seperti ini memang sangat murah kalau membeli langsung di produsennya, harganya berbeda jauh, ditambah kualitas yang bisa dikatakan hampir sama. Hanya saja harus ekstra hati hati dan sabar karena lokasinya masuk masuk gang kecil. Pengalaman saya, membeli kerupuk kadang membuat malas karena saat membawanya. Volume terlalu besar untuk amsuk ke kabin, terlalu rapuh untuk masuk bagasi. Tetapi ternyata kru maskapai menyediakan akomodasi khusus untuk kerupuk. Mereka berjanji akan handle krupuk di bagasi dengan berhati hati, jadi no worries, ayo beli kerupuk ikan. hehehe






Rabu, 17 Juni 2015

Take it or leave it, dude

Loong time didn't post anything already. Kerjaan lagi banyak kak, gaji masih belum naik naik aje *emot nangis disini*

Gak kerasa gue udah tiga tahun lebih kerja di kantor gue yang sekarang. Artinya memang masa masa manisnya kerja sudah terlewat. Yang kini sedang banyak mampir adalah masa masa jenuh dan goyang. Waktu pindah dan goyang sudah agak sering menggoda pikiran. Tapi kita harus selalu ingat, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau dibandingkan dengan rumput kita sendiri. Masalahnya, they're always fertilized with bull shit. XD

Namanya kerja, gue tahu gak semua tempat kerja itu asik. Tiap tempat kerja pasti punya plus dan minus masing masing. Gue sendiri tahu dan sadar betul, untuk beberapa aspek, tempat kerja gue ada sisi yang agak 'meh', walaupun gue sendiri buktinya masih betah. Lol. Karena gue bekerja di kantor pusat, sisi individualis masing masing employee memang sangat terasa. Sisi yang selama ini gue anggap sebagai poin minus, ternyata punya sisi plus nya sendiri. Tak banyak rumor atau isi negatif yang berkembang di antara employee. Saat berkunjung ke unit, baru semua hal negatif itu terasa. Staff maupun karyawan, pria atau wanita, sama aja, semuanya tukang rumpi. Gosip maupun rumor menyebar dengan sangat cepat mengalahkan bau rebusan tandan yang sedang diproses.

Saat kunjungan terakhir ke unit, gue kembali bertemu dengan staff kebun. Dari awal memang sudah tidak begitu respek dengan dia. Kalau disebut malas, memang iya, bisa jadi, malah sudah jengah dengan kelakuannya. Terkenal sebagai lelaki penyebar rumor, walaupun gue gak pernah terlibat langsung, lama lama membuat gue malas.

Anggaplah si itu kita sebut sebagai Fulan. Si Fulan ini sering sekali tertangkap membicarakan orang lain. Mulai dari project gue di keun, atasan gue di kebun, dan entah tetek bengek lainnya. Gue sendiri gak terlalu paham dengan masalah dia. Rumor yang beredar, dia sempat bekerja 'induk' kantor gue, trus kecewa dengan kantor yang sekarang, lalu menumpahkan kekecewaannya dengan menyebar omongan buruk. Entah apa tujuannya, secara langsung yang gue tangkap, dia seperti merusak citra kantor, tapi efek tidak langsungnya adalah mengikis loyalisme karyawan dan staff ke kantor. Mungkin dia belum puas hingga seluruh karyawan yang ada di lingkungannya meninggalkan kantor ini, kemudian kantor menjadi runtuh karena tidak ada karyawan yang mau bekerja. meh

Gaes, sebenarnya, kalau menurut pemikiran gue, apa sih untungnya menjelekkan citra orang, institusi, atau what soever? Gue sendiri bukan menjelekkan si Fulan, hanya menjadikan dia contoh yang sangat tepat. Kalau memang tidak suka, kecewa, atau merasa di PHP dengan kantor, atau malah pasangan, yaudah, tinggalin. Take it or leave it. gue sendiri paling tidak suka dengan orang yang sering mengeluh tentang ini itu, tapi tidak melakukan apapun tentang si ini dan itu. Semakin sering mengeluh tentang kondisi kalian saat ini, itu membuktikan kalau kalian tidak bisa melakukan apa apa untuk merubahnya, so just take it already. Kalau kamu memang bijak, powerful, smart, or whatsobeneficialever trait, yasudah, resign, keluar, cari kantor lain yang menurut kalian ideal -dan mau mempekerjakan kalian-.

Kalau memang kalian sudah berusaha mencari yang baru, tapi belum berhasil, seperti kasus si Fulan, yasudah, lebih baik duduk manis dan berdizikir, instropkesi diri, atau menunggu keajaiban