Kamis, 18 Juni 2015

Sepit dan Kerupuk Ikan


We do love travel, fcuk yeah!!! terlepas dari idioms yang berkata 'The world is a book and those whatsoever,' travelling memang sudah menjadi lifestyle. Kalau buat kebanyakan orang travelling itu sebagai lifestyle yang bersifat entertainment, buat gue travelling itu bagian dari perjalanan dinas yang menjemukan *eh.




Minggu lalu gue ke Sumatera Selatan. Bukan kali pertama ke daerah itu, tetapi biasanya memang kita naiknya lewat jalur darat. Kali ini lewat sungai, merasakan satu satunya metode transportasi yang belum pernah gue coba, kapal kecil. *sebetulnya sudah pernah sih, ketika naik kapal nyeberang ke pulau pari, tapi rasanya beda, karena ini hanya speed boat kayu yang isinya tak sampai 30 orang*. Hal yang paling saya suka, adalah banyaknya kelapa di perkampungan yang masih bagus, di daerah saya, kelapa sudah habis terkena serangan Orcytes ToT






Jam setengah lima pagi kami sudah siap, menunggu sepit -dan juga mobil yang akan mengantar-. Perjalanan dari lokasi ke Palembang makan waktu 3-4 jam, tergantung amal dan perbuatan. Lamanya waktu perjalanan dan minimnya pertimbangan kenyamanan, membuat saya terpaksa memungut beberapa buah batu untuk disimpan teman saya, karena dia sedang sakit perut. Lama pasti perjalanan tergantung seberapa sering sepit transit, karena kita memang naik sepit umum, ya harus agak bersabar.





















Dari sungai yang hanya selebar 20 meter, ukurannya berubah tergantung lokasi. bisa ke lebar, atau sangat lebar. Tiadanya alat penyelamatan hanya membuat kita berharap bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi, karena biasanya jika ada kapal karam, yasudah ikhlaskan saja, SAR saja tidak ada. hehehe

Sampai palembang agak siang, kami masih sempat mencari langsung ke sentra produksi kerupuk ikan yang beken di sana -selain pempek-. Pencarian kerupuk ikan dengan pertimbangan bahwa sudah akan masuk musim puasa -walaupun tidak ada hubungannya juga sih). Saat memilah milah kerupuk, harganya sangat berbeda dengan di toko souvenir besar, misalnya C*NDY. Satu kantong plastik besar di produsen yang saya beli dengan harga 12 ribu, teryata untuk item yang hampir serupa (tentu dengan merk yang berbeda), harganya 23 ribu di toko oleh oleh. wew.

Hal yang agak khas di daerah produsen kerupuk ini, adalah hampir semua pembuat kerupuk merupakan etnis tionghoa. Jadi ya jangan kaget kalau banyak aroma Tionghoa disini. Dari peletakan cermin di atas pintu rumah, tempat dupa yang tergantung di teras, atau kertas/kain bermotif stempel yang biasa dilihat di film Mandarin. Rumah persembahyangan juga mudah dijumpai di beberapa gang/jalan.

Membeli kerupuk seperti ini memang sangat murah kalau membeli langsung di produsennya, harganya berbeda jauh, ditambah kualitas yang bisa dikatakan hampir sama. Hanya saja harus ekstra hati hati dan sabar karena lokasinya masuk masuk gang kecil. Pengalaman saya, membeli kerupuk kadang membuat malas karena saat membawanya. Volume terlalu besar untuk amsuk ke kabin, terlalu rapuh untuk masuk bagasi. Tetapi ternyata kru maskapai menyediakan akomodasi khusus untuk kerupuk. Mereka berjanji akan handle krupuk di bagasi dengan berhati hati, jadi no worries, ayo beli kerupuk ikan. hehehe






Tidak ada komentar:

Posting Komentar